Jaman kini fenomena ekranisasi di Indonesia makin marak, sejak diputar di
bioskop film-film yang dianggat dari novel-novel best seller dapat dikatakan
sukses dari segi penonton dan lama keberadaannya dibioskop. Ayat-ayat Cinta
bisa dikatakan sebagai salah satu contohnya dan kali ini hebohnya film Perahu
Kertas juga sangat menarik penonton. Tulisan ini tidak hendak membahas tentang
film lebih jauh, tetapi lebih fokus pada fenomena lain yang menarik untuk
dikupas berkaitan yaitu ekranisasi.Secara sederhana, ekranisasi dapat diartikan
sebagai proses transformasi dari bentuk novel ke dalam bentuk film. Dalam
Eneste (1991: 60) dijelaskan, yang dimaksud ekranisasi ialah pelayarputihan
(ecran dalam bahasa Prancis berarti layar). Di Indonesia, ekranisasi dapat
dikatakan bukanlah hal baru, setidaknya pada tahun 1951 proses adaptasi semacam
ini sudah dimulai. Ekranisasi memang sudah lama dimulai di Indonesia, tetapi
fenomena ini sepertinya baru benar-benar terasa ketika novel Ayat Ayat Cinta
difilmkan. Tidak bisa dipungkiri, kesuksesan film AAC mencatat sejarah
tersendiri dalam hal pencapain penonton di bioskop. Fenomena ekranisasi kian
menjadi perbincangan karena kesuksesan film-film tersebut. Jika kita menengok
ke belakang, fenomena ekranisasi sebenarnya juga sempat menjadi perbincangan
banyak orang yaitu ketika sutradara Imam Tantowi memfilmkan sandiwara radio
Saur Sepuh (SP) pada tahun 1988. Film SP juga sempat meramaikan bioskop
Indonesia, bahkan banyak orang yang mengaku sangat jarang ke bioskop dan ke
bioskop hanya sekali saat melihat film SP. Dalam sejarah perfilman di Indonsia,
ada banyak film hasil ekranisasi yang cukup berhasil mencuri perhatian
masyarakat luas.
Di kancah perfilman dunia, banyak film yang meledak di pasaran adalah
film-film hasil proses ekranisasi. Sebut saja, film Harry Potter yang merupakan
adaptasi dari novel berjudul Haryy Potter karya J.K. Rowling dan masih banyak
lagi. Kembali pada awal tulisan ini, bioskop di Indonsia tengah diramaikan
pemutaran film hasil proses ekranisasi. Yang menjadi pertanyaan penting,
mengapa film-film hasil proses ekranisasi (lebih sering) laris di pasaran?
Apakah hal ini sebuah kewajaran? film-film hasil proses ekranisasi bisa
dikatakan cukup beralasan jika diminati penonton. Salah satu pertimbangan
proses ekranisasi adalah melihat media sebelumnya (misalnya novel ) juga
memiliki banyak penggemar. Ada asumsi, jika sebelumnya sudah meledak di
pasaran, tentunya ketika difilmkan akan juga mengundang minat banyak orang.
Pembaca novel lebih sering memiliki rasa penasaran yang kuat, ingin tahu
bagaimana cerita di dalam novel ketika divisualisasikan ke dalam film.
Seorang sutradara film ataupun produser tentu sangat jeli membidik peluang
dan bukan tanpa pertimbangan ketika hendak membuat film yang diangkat dari
media tertentu.
Jika melihat kenyataan bahwa banyak film-film hasil proses ekranisasi yang sukses di pasaran, bukan tidak mungkin ke depan akan semakin banyak film-film yang diproduksi hasil ekranisasi. Fenomena ini cukup menggembirakan, pasalnya berdasarkan kenyataan yang ada kualitas film-film hasil ekranisasi bisa dikatakan cukup berkualitas karena diangkat dari novel yang berkualitas pula dan sebelumnya sudah meledak di pasaran. Apapun itu,semua ini sebagai fenomena yang positif, gelegar ekranisasi setidaknya membuat masyarakat lebih apresiatif dan kritis terhadap karya seni film.
Jika melihat kenyataan bahwa banyak film-film hasil proses ekranisasi yang sukses di pasaran, bukan tidak mungkin ke depan akan semakin banyak film-film yang diproduksi hasil ekranisasi. Fenomena ini cukup menggembirakan, pasalnya berdasarkan kenyataan yang ada kualitas film-film hasil ekranisasi bisa dikatakan cukup berkualitas karena diangkat dari novel yang berkualitas pula dan sebelumnya sudah meledak di pasaran. Apapun itu,semua ini sebagai fenomena yang positif, gelegar ekranisasi setidaknya membuat masyarakat lebih apresiatif dan kritis terhadap karya seni film.
No comments:
Post a Comment